Salam yang Benar

Salam yang Benar
Semoga Bermanfaat

Friday, March 18, 2016

Pengertian, dimensi, faktor yang mempengaruhi Religiusitas menurut ahli

1.             Pengertian Religiusitas
Religiusitas adalah hubungan interpersonal antara manusia dengan Allah SWTnya, serta suatu pola yang mengatur kehidupan manusia menjadi teratur sehingga pemujaan kepada Allah SWT tidak terjadi kekacauan (Siswanto, 2007). Religiusitas adalah sebuah sistem yang memiliki dimensi yang banyak dan diwujudkan dalam berbagai lingkup kehidupan baik itu yang tampak oleh mata manusia maupun yang tidak tampak oleh mata manusia (Ancok & Suroso, 1994).
Religiusitas adalah keyakinan yang kuat terhadap apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia itu semata-mata adalah takdir dari Allah SWT (Sari L. M., 2013). Religiusitas adalah tingkat pengetahuan seseorang terhadap agama yang dianutnya serta suatu tingkat pemahaman yang menyeluruh terhadap agama yang dianutnya (Glock & Stark, 1970).
2.             Dimensi Religiusitas
Religiusitas menurut Glock & Stark (1970) terdiri dari lima dimensi antara lain:
a.         Dimensi ideologi/keyakinan yang berkaitan dengan harapan-harapan dimana seseorang yang religius akan berpegang teguh pada suatu pandangantertentu serta mengakui akan adanya kebenaran.
b.        Dimensi praktik ibadah yang meliputi pada perilaku pemujaan, pelaksanaan ritus keagamaan yang formal, ketaatan serta segala hal yang dilakukan manusia untuk menunjukkan komitmennya terhadap keyakinan yang dianut. Praktik-praktik agama ini terdiri dari dua kelas yang penting, yaitu: (1) Ritual, praktik ini mengacu pada seperangkat ritus, tindakan formal keagamaan serta praktik-praktik suci yang mengharapkan agar dilaksanakan oleh para pemeluk. (2) Ketaatan, semua agama yang dikenal juga mempunyai seperangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal dan khas.
c.         Dimensi Pengalaman, berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan, persepsi dan sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagaman (atau masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi dengan Allah SWT, kenyataan terakhir, dengan otoritas transedental.
d.        Dimensi pengetahuan agama, mengacu pada harapan bagi seseorang yang beragama paling tidak memiliki pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi dari agama yang dianut.
e.         Dimensi Konsekuensi, mengacu pada sejauh mana ajaran dari keyakinan yang dianut mempengaruhi perilakunya.
Dimensi religiusitas menurut Fetzer Institute (1999) terbagi menjadi 12 dimensi antara lain:
a.        Daily spiritual experienceadalah memandang dampak agama dalam kehidupan sehari-hari.
b.        Meaning adalah sejauhmana agama menjadi tujuan hidup.
c.         Value adalah pengaruh religiusitas terhadap nilai-nilai dalam kehidupan.
d.        Belief adalah keyakinan akan konsep-konsep yang dibawa oleh suatu agama.
e.         Forgiveness adalah dimensi yang mencakup lima dimensi turunan yaitu pengakuan dosa, merasa diampuni oleh Allah SWT, merasa dimaafkan oleh orang lain, memaafkan orang lain, memaafkan diri sendiri.
f.          Private religious practice adalah perilaku beragama dalam praktek agama dengan tujuan untuk meningkatkan religiusitasnya.
g.        Religious adalah koping stres dengan menggunakan pola-pola dan metode religius.
h.        Konsep religious support adalah aspek hubungan sosial antara individual dengan sesama pemeluk agama.
i.          Religious spiritual history mengukur sejarah keberagamaan seseorang.
j.          Commitment sejauhmana individu mementingkan agamanya, komitmen serta berkontribusi terhadap agamanya.
k.         Organizational religiousness mengukur sejauhmana seseorang ikut dalam lembaga keagamaan yang ada dimasyarakat.
l.          Religious preference sejauhmana seseorang membuat pilihan dan memastikan pilihannya.
Dimensi religiusitas menurut Kendler, dkk (2003) ada tujuh yaitu:
a.      General religiositybagaimana hubungan seseorang dengan Tuhannnya.
b.      Social religiosity bagaimana seseorang membina hubungan dengan sesama penganut agamanya.
c.       Involved God keyakinan akan keterlibatan Allah SWT dalam segala urusan manusia.
d.      Forgiveness menggambarkan kepedulian dan saling memaafkan.
e.       God as judge menggambarkan kekuasaan Allah SWT.
f.        Unvengefulness perilaku seseorang yang tidak dendam kepada orang lain.
g.      Thankfulness bagaimana seseorang menggambarkan rasa syukur.

3.             Faktor yang mempengaruhi religiusitas
Religiusitas menurut Thouless (2000) dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain:
1.        Faktor sosial, meliputi semua pengaruhsosial seperti, pendidikan dan pengajaran dari orangtua, tradisitradisi dan tekanantekanan sosial.
2.        Faktor alami,  meliputi  moral  yang  berupa pengalamanpengalaman baik yang bersifat alami, seperti pengalaman konflik moral maupun pengalaman emosional.
3.        Faktor kebutuhan untuk mendapatkan harga diri serta kebutuhan yang timbul disebabkan adanya kematian.
4.        Faktor intelektual dimana faktor ini menyangkut  proses pemikiran secara verbal terutama dalam pembentukan keyakinankeyakinan agama.
Jalaluddin (2010) menjelaskan ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan religiusitas seseorang antara lain:
1.        Faktor internal yaitu faktor yang muncul dari dalam diri seseorang yang mendorong seseorang untuk tunduk kepada Allah SWT.
2.        Faktor eksternal yaitu faktor yang meliputi lingkungan masyarakat.Lingkungan keluarga dimana keluarga adalah sebuah sistem kehidupan sosial terkecil dan merupakan tempat seseorang anak pertama kali belajar mengenai berbagai hal salah satunya adalah mengenai religiusitas.
Daradjat (1996) menjelaskan ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan religiusitas seseorang antara lain:
1.        Pertentangan batin atau konflik batin dan ketegangan perasaan yaitu kondisi dimana seseorang merasa tidak mampu menghadapi berbagai persoalan dalam hidup.
2.        Pengaruh hubungan dengan tradisi agama meliputi pengalaman pendidikan dan suasana keluarga, lembaga keagamaan.
3.        Ajakan dan sugesti yaitu bantuan-bantuan moriil dan material yang dilakukan oleh para pemimpin dan pemuka agama kepada seseorang yang mengalami kegelisahan dan kesengsaraan dalam hidup.
4.        Faktor-faktor emosi yaitu seseorang yang emosional akan dengan mudah menerima nasehat ketika sedang mengalami persoalan.
5.        Kemauan yaitu keinginan seseorang untuk bisa hidup lebih baik dan tidak menyerah dengan keadaan yang mengecewakan.

Sumber


Ancok, D., & Suroso, F. N. (1994). Psikologi islami solusi islam atas problem-problem psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daradjat, Z. (1996). Ilmu jiwa agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Fetzer Institute. (1999). Multidimensional measurement of religiousness, spiritually for use in health research. National Institute On Aging Working Group. Kalamazoo: John. E Fetzer Institute.
Glock, C. Y., & Stark, R. (1970). Religion and society in tension. San Francisco: Rand McNally.
Jalaluddin. (2010). Psikologi agama. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Kendler, K. S., Liu, X.-Q., Gardner, C. O., McCullough, M. E., Larson, D., & Prescott, C. A. (2003, Maret). Dimension of religiosity and their relationship to lifetime psychiatric and substance use disorders. Religiosity and Psychiatric Disorders , p. 498.
Sari, L. M. (2013). Tingkat religiusitas dengan kecemasan menghadapi menopause. Jurnal Online Psikologi , 01 (02), 618-627.
Siswanto. (2007). Kesehatan mental konsep, cakupan dan perkembangannya. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.
Thouless, H. (2000). Pengantar psikologi agama. Jakarta: Rajawali Press.



Pengertian, aspek, ciri, faktor yang mempengaruhi resiliensi

1.                  Pengertian resiliensi
Resiliensi merupakan kemampuan yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan respon terhadap permasalahan sehari-hari yang tidak menyenangkan, mengatasi permasalahan dengan cara menunjukkan fungsi yang adaptif yang berperan penting bagi dirinya didalam menghadapi suatu kesulitan (Issacson, 2002; McEwen, 2011; Nasution, 2011). Resiliensi merupakan suatu kemampuan yang dimiliki seseorang sehingga dapat bangkit dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara yang produktifdan sehat tanpa melakukan kekerasan dimana cara tersebut merupakan hal yang penting untuk dapat mengendalikan tekanan dalam hidup ketika berada di bawah kondisi yang penuh dengan tekanan dan tergolong parah (Siebert, 2005; Benard, 2004; Reivich & Shatte, 2002).
2.             Aspek resiliensi
Aspek resiliensi menurut Reivich & Shatte (2002) terdiri dari tujuh aspek antara lain:
a.         Emotion Regulation atau regulasi emosi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk tetap tenang dibawah kondisi yang menekan.
b.        Impulse control atau kontrol terhadap impuls merupakan suatu kemampuan untuk bisa menekan dan mengendalikan berbagai macam dorongan yang muncul dari dalam diri seseorang.
c.         Optimism adalah seseorang memiliki pandangan positif terhadap kemampuan dirinya bahwa dirinya bisa mengatasi berbagai tekanan.
d.        Causal analysis atau analisis masalah adalah kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi penyebab dari setiap masalah yang dihadapinya.
e.         Empathy adalah kemampuan seseorang dalam melihat maksud dari tanda-tanda nonverbal yang dimunculkan seseorang.
f.         Self-efficacy adalah keberhasilan seseorang dalam memecahkan masalah.
g.        Reaching out  atau pencapaian adalah kemampuan seseorang dalam mengambil hikmah dari setiap masalah yang menimpanya.

Resiliensi menurut Benard (2004) memiliki empat aspek yaitu:
a.         Social Competence. Kemampuan sosial mencakup karakteristik, kemampuan dan tingkah laku yang diperlukan seseorang untuk membangun suatu relasi dan kedekatan yang positif terhadap orang lain. Diidentifikasikan sebagai atribut dari resiliensi, termasuk kualitas dari fleksibilitas, empati, rasa peduli, kemampuan komunikasi, rasa humor, dan tingkah laku prososial lainnya.
b.        Problem Solving Skills. Kemampuan ini mencakup kemampuan berpikir abstrak, reflektif, dan fleksibel, mencoba mencari alternatif solusi dari masalah kognitif dan sosial.
c.         Autonomy melibatkan kemampuan untuk bertindak dengan bebas dan untuk merasakan suatu sense of control atas lingkungan. Autonomy juga diasosiasikan dengan kesehatan yang positif dan perasaan akan kesejahteraan, merasakan kebebasan dan berkehendak dalam melakukan suatu tindakan.
d.        Sense of purpose, yaitu: memiliki orientasi untuk sukses, motivasi untuk berprestasi, memiliki harapan (hope) yang sehat, memiliki antisipasi. Fokus terhadap masa depan yang positif dan kuat secara konsisten telah diidentifikasikan dengan sukses dalam bidang akademis, identitas diri yang positif, dan sedikitnya tingkah laku yang beresiko terhadap kesehatan.

3.             Ciri seseorang yang memiliki resiliensi
Ciri-ciri seseorang yang resilien menurut Grotberg (1999) terdiri atas tiga hal berikut:
a.         Memiliki kemampuan untuk mengendalikan berbagai macam dorongan yang muncul dari dalam diri seseorang.
b.        Memiliki kemampuan untuk dapat bangkit dari permasalahan dan berusaha untuk mengatasinya.
c.         Mandiri serta dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatif dirinya sendiri, mempunyai sikap empati dan kepedulian yang tinggi terhadap sesama.

Berdasarkan dengan hal tersebut diatas Reivich & Shatte (2002) menambahkan tiga ciri yaitu:
a.         Mampu mengatasi stress.
b.        Bersikap realistik serta optimistik dalam mengatasi masalah.
c.         Mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan nyaman.
Menurut Wagnild & Young (1993) terdapat lima karakterisitk seseorang yang memiliki resiliensi antara lain:
a.         Meaningfulness yaitu memiliki tujuan dalam menjalani kehidupan.
b.        Perseverance yaitu keinginan untuk terus maju meskipun mengalami kesulitan.
c.         Self-reliance adalah percaya pada diri sendiri dengan memahami kekurangan dan kelebihan yang dimiliki.
d.        Equanimity adalah kemampuan untuk tetap optimis walaupun dalam situasi yang sulit serta memiliki rasa humor.
e.         Existential aloneness yaitu seseorang menerima dirinya apa adanya, memiliki pendirian yang kuat dan tidak memiliki keinginan untuk konform dengan lingkungan.

4.             Faktor yang mempengaruhi resiliensi
Menurut Kumpfer (1999) ada enam faktor yang mempengaruhi resiliensi yaitu:
a.         Stressors atau tantangan hidup dimana faktor ini kemudian menjadi stimuli yang mengaktivasi proses resiliensi pada seseorang.
b.        External environmental context yang meliputi keseimbangan dan interaksi antara faktor resiko dan faktor protektif dan juga proses-proses yang terjadi pada domain ekternal yang penting dalam kehidupan seseorang.
c.         Person-environment interactional processes yang meliputi proses transaksional antara seseorang dengan lingkungan dengan mengubah lingkungan menjadi lebih protektif.
d.        Internal self characteristics yang meliputi keadaan internal seseorang dalam kompetensi atau kekuatan spiritual, kognisi, sosial, fisikal, dan emosional yang berguna untuk bisa sukses dalam tugas perkembangan, budaya dan lingkungan yang berbeda.
e.         Resilience process meliputi resiliensi jangka pendek dan jangka panjang dan juga proses coping yang dipelajari seseorang melalui paparan terhadap berbagai masalah.
f.         Positive outcomes merupakan adaptasi hidup yang berhasil pada tugas perkembangan yang spesifik yang kemudian membantu adaptasi positif pada tugas perkembangan berikutnya.
Menurut Holaday & McPhearson (1997) ada enam faktor yang mempengaruhi resiliensi yaitu:
a.         Social support melibatkan pengaruh budaya, dukungan dari orang tua dan komunitas dalam mempengaruhi resiliensi seseorang.
b.        Cognitive skillstermasuk didalamnya intelejensi, gaya menghadapi masalah, menghindari menyalahkan diri sendiri, dan religiusitas.
c.         Psychological resources termasuk didalamnya empati, rasa keingin tahuan internal locus of control, cenderung mengambil hikmah dari setiap permasalahan dan pengalaman hidup, dan selalu fleksibel ketika menghadapi situasi yang sulit.

Sumber

 

Benard, B. (2004). Resiliency: what we have learned. WestEd.
Grotberg, E. (1999). Tapping your inner strength. Oakland: New Harbinger Publication Inc.
Holaday, M., & McPhearson, R. W. (1997). Resilience and severe burns. Journal of Counseling and Development , 75, 348-351.
Issacson, B. (2002). Characteristics and enhancement of resiliency in young people a research paper. University of Wisconsin-Stout.
Kumpfer, K. L. (1999). Factors and processes contributing to resilience: the resilience framework.
McEwen, K. (2011). Building resilience at work. Australia: Australian Academic Press.
Nasution, S. M. (2011). Resiliensi daya pegas menghadapi trauma kehidupan. Medan: USU Press.
Reivich, K., & Shatte, A. (2002). The resilience factor: 7 essential skills for overcoming life's inevitable obstacle. New York: Broadway Books.
Siebert, A. (2005). The resilience advantage: master change, thrive under pressure, and bounce back from set backs. San Franscisco: Berrette-Koehler.
Wagnild, G., & Young, H. (1993). Development and psychometric evaluation of nursing measurement. Journal of Nursing Measurement , I (2), 167.



Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi

Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi
Menurut Muniroh (2010) ada banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan resiliensi individu yaitu faktor dari dalam diri dan faktor dari luar diri. Faktor dari dalam terdiri dari adanya kompetensi pribadi, toleransi pada pengaruh negatif, penerimaan diri yang positif, kontrol diri sedangkan faktor dari luar terdiri dari dukungan keluarga dan orang-orang terdekat (Muniroh, 2010). Perbedaan etnis juga mempengaruhi kemampuan resiliensi seseorang (Hutapea, 2011).
Setyowati, Hartati, & Sawitri (2010) juga berpendapat bahwa kemampuan resiliensi seseorang dipengaruhi oleh faktor internal yaitu kecerdasan emosional.Sukhala & Jyotsana (2015) melalui hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa selain agama, faktor lain yang mempengaruhi resiliensi seseorang adalah kepuasan hidup. Faktor lain yang mempengaruhi kemampuan resiliensi seseorang adalah self-efficacy, keluarga dan hubungan sosial, perseverance, internal locus of control, coping dan adaptasi (Ryan & Caltabiano, 2009).

Sumber

Hutapea, B. (2011). Religiosity and resilience among "underclass' internal migrant young men in Jakarta: a study of two different ethnic groups. Proceedings of The International Conference on Psychology of Resilience (pp. 24-29). Jakarta: Tarumanegara University.
Muniroh, S. M. (2010). Dinamika resiliensi orang tua anak autis. Jurnal Penelitian , VII (2), 9.
Ryan, L., & Caltabiano, M. L. (2009). Development of new resilience scale: the resilience in midlife scale (RIM Scale). Asian Social Science , V (11), 39-46.
Setyowati, A., Hartati, S., & Sawitri, D. R. (2010). Hubungan antara kecerdasan emosional dengan resiliensi pada siswa penghuni rumah damai. Jurnal Psikologi , VII (1), 71-72.
Sukhala, S., & Jyotsana. (2015). A study of resilience, life satisfaction and religiosity. Indian Journal of Psychology and Education , V (1), 53-55.



Tuesday, March 15, 2016

Kunci Sukses Dalam Berkomunikasi

Kunci Sukses Dalam Berkomunikasi
Communication is the key to success, ya ungkapan tersebut menggambarkan betapa pentingnya peranan komunikasi untuk menggapai kesuksesan dalam hidup. Kita mungkin sering mendengar ungkapan tersebut akan tetapi masih banyak diantara kita yang gagal dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai macam alasan mengemuka mulai dari alasan tidak adanya rasa PEDE, ketidaksempurnaan alat ucap, hingga penampilan fisik yang kurang ideal dan masih banyak lagi alasan yang kita buat. Secara teoritis proses komunikasi akan berjalan efektif, lancar dan menguntungkan jika didalamnya memuat lima hukum komunikasi efektif atau dalam bahasa asingnya disebut the five inevitable laws of effective communication. Kelima hal tersebut disingkat ”REACH”, dengan rincian sebagai berikut:
1.      R (respect) yaitu perasaan hormat dan saling menghargai.
2.      E (empathy) yaitu kemampuan untuk menempatkan diri pada kondisi yang dihadapi oleh orang lain.
3.      A (audible) yaitu apa yang kita sampaikan dapat dimengerti dengan baik oleh lawan bicara.
4.      C (clarity) yaitu pesan yang kita sampaikan jelas dan transparan.
5.      H (humble) yaitu rendah hati, mau melayani, rela memaafkan, lemah lembut dan tidak memojokkan atau menyerang orang lain.
Jika kita mampu mempraktekkan pola komunikasi tersebut maka insya Allah kita akan menjadi seorang komunikator yang disukai lawan bicara. Sebelum konsep REACH ini dikenal secara meluas sebenarnya Nabi Muhammad SAW telah mengajarkannya melalui perilaku Beliau, berikut kisahnya.
Dalam sebuah hadits, dikisahkan bahwa pada suatu hari, seorang pemuda datang kepada Rasulullah SAW. Pemuda tersebut hendak memeluk Islam. Akan tetapi dibalik keinginan sang pemuda tersebut, pemuda tersebut mengajukan satu syarat yang sangat tidak masuk akal kepada Rasulullah SAW syarat tersebut yaitu meminta agar Nabi Muhammad SAW tidak melarangnya berbuat zina.
Nabi Muhammad SAW tidak marah mendengar permintaan pemuda tersebut. Beliau justru tersenyum dan tidak memarahi pemuda tersebut dan mengajak pemuda tersebut berdialog:
“wahai pemuda, mendekatlah.” Pinta Nabi Muhammad SAW.
Pemuda itu pun mendekat.
“duduklah,” perintah Rasulullah SAW.
“wahai pemuda, maukah kamu jika itu (zina) terjadi pada ibumu?”
“tidak. Demi Allah, aku tidak rela!” jawab si pemuda.
“demikianlah pula seluruh manusia, tidak suka zina terjadi pada ibu-ibu mereka.”
Nabi pun bertanya lagi, “maukah kamu jika itu terjadi pada anak perempuanmu?”
Pemuda itu menjawab “tidak”,. Kemudian Rasulullah SAW bertanya bagaimana jika hal itu (zina) terjadi pada saudara perempuan dan bibi kamu.”
Pemuda tersebut lantas menjawab “saya tidak rela.”
Kemudian Nabi Muhammad SAW meletakkan tangannya di bahu pemuda tersebut seraya berdoa, “Ya Allah, sucikanlah hati pemuda ini. Ampunilah dosanya dan peliharalah ia dari zina.”
Setelah dialog tersebut terjadi perubahan yang drastis pada pemuda tersebut, saat itu tidak ada perbuatan yang paling dibenci oleh pemuda tersebut selain melakukan zina.
Dari kisah tersebut maka kita dapat temukan wujud konkret dari teori REACH yang dipraktekkan Nabi Muhammad SAW yaitu:
1.      Nabi Muhammad SAW memperlakukan pemuda tersebut dengan sangat hormat. Rasulullah SAW tetap menghargai pemuda tersebut meskipun permintaannya sangat tidak etis akan tetapi Beliau tidak memarahi pemuda tersebut. Ini merupakan contoh dari respect.
2.      Nabi Muhammad SAW berusaha merasakan sesuatu yang ada di dalam hati pemuda tersebut, sehingga Beliau tidak frontal, menyerang dan menyalahkannya. Andai saja Beliau langsung mengatakan tidak boleh, haram dan mengutuk maka kemungkinan besar pemuda tersebut justru mundur dan mengurungkan niatnya untuk masuk Islam. Contoh dari empathy.
3.      Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan dengan jelas dan penuh keterbukaan. Hal ini merupakan teknik persuasif yang dilakukan Nabi Muhammad SAW agar pemuda tersebut sadar dan merasakan ketenangan, bukan beban. Contoh dari audible dan clarity.
4.      Nabi Muhammad SAW menjalin komunikasi dengan landasan akhlak mulia, lemah lembut, mendengarkan pendapat, meskipun Beliau memahami bahwa zina itu haram namun Beliau tidak langsung memberikan dalil ihwal haramnya zina dan akibat-akibat buruk yang ditimbulkannya. Beliau cukup menyentuh hati dan pikiran pemuda tersebut hingga keinginannya berubah menjadi penolakan dengan enggan melakukan zina. Contoh dari humble.
SUMBER

 

al-Firdaus, I. (2014). Bicaralah yang baik, atau diamlah... (Raisya, Ed.) Yogyakarta: Safirah.