Tugas Psikologi Lintas Budaya
“Peringatan 1 Suro di Masjid Sunan Kudus “
Disusun guna memenuhi tugas mata
kuliah Psikologi Lintas Budaya
Dosen pengampu : Falasifatul Falah
S.Psi, MA
Oleh Kelompok 4 :
1. Maharani Mega W.P 072090911
2. Azmiani 072110982
3. Ervianto 072110998
4. Isnawati 072111007
5. Yusrina Sabrina Misron 072111068
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bulan Muharram atau yang lebih
dikenal dengan bulan Suro bagi masyarakat Kudus ini merupakan bulan yang
mempunyai keistimewaan tersendiri dalam hitungan bulan Islam ala Jawa. Karena
dalam bulan Muharram adalah saat pencucian pusaka keris, dan gaman yang
di kramatkan.
Dalam bulan tersebut ada
satu tanggal yang agung yakni pada tanggal 10 muharram. Keagungan tanggal
tersebut karena Nabi Nuh di selamatkan oleh Allah SWT saat terjadinya banjir
es. Dan pada tanggal tersebut juga pengurus makam Sunan Kudus mengadakan ritual
penggantian kain penutup makam Sunan Kudus (luwur).
Selain itu, pada bulan Muharram
masyarakat Kudus, juga mengadakan buka luwur makam para wali yang di awali dari
makam Sunan Kudus yang kemudian di teruskan pada makam para wali di sekitar Kudus.
Prosesi Buka Luwur dilakukan pada 10 Suro dengan pencopotan kelambu atau kain
putih penutup makam yang sudah satu tahun digunakan.
Tradisi yang dilakukan turun
temurun oleh masyarakat Kudus ini memang unik dan menyedot partisipasi
masyarakat umum, bukan hanya masyarakat asli Kudus tapi masyarakat di luar
Kudus pun ikut turut serta dalam acara tersebut.
Masyarakat berbondong-bondong
untuk mendapatkan kelambu atau kain putih yang disebut dengan Luwur, mereka
ingin mendapatkan “berkah” dari wali yang bersangkutan. Masyarakat meyakini
bahwa atsar doa dari para peziarah menempel pada kain luwur tersebut.
Pasalnya dalam pelaksanaan malam 10 Suro, tidak hanya prosesi
penanggalan kain putih penutup makam saja, akan tetapi dilanjutkan dengan
berbagai acara mulai dari khotmil qur’an dan pengajian umum yang dilanjutkan
dengan pembagian nasi bungkus.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka kami ingin
mengetahui alasan masyarakat Kudus melakukan perayaan tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian konformitas
2.
Penjelasan
Malam Satu Suro
D.
Manfaat
1.
Mengetahui apa konformitas
2.
Mengetahui bagaimana kronologis
perayaan malam satu Suro
3.
Mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi konformitas
BAB II
LANDASAN TEORI
David & Frank (2003) menyatakan bahwa
konformitas merupakan perubahan perilaku sebagai akibat dari pengaruh kelompok.
Myers (2008) menjelaskan bahwa konformitas
merupakan suatu bentuk perubahan perilaku atau kepercayaan hasil dari tekanan
kelompok.
Menurut Asch (1951) konformitas merupakan
perubahan tingkah laku atau keyakinan sebagai hasil dari tekanan dalam kelompok
yang terasa nyata ataupun dalam bayangan.
Dari penjelasan di atas dapat di simpulkan
bahwa konformitas adalah perubahan perilaku sebagai akibat dari adanya tekanan
dari kelompok.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian yang kami lakukan dengan menggunakan jenis Penelitian kualitatif yaitu suatu pendekatan yang juga disebut pendekatan investigasi karena biasanya Kami mengumpulkan data dengan cara bertatap muka langsung dan berinteraksi dengan orang-orang di tempat Penelitian.
B. Lokasi Penelitian
Kami mengambil lokasi penelitian di kota Kudus Provinsi Jawa Tengah.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Kami menggunakan masyarakat Kudus sebagai populasi, akan tetapi karena banyaknya masyarakat Kudus serta keterbatasan kami maka kami mengambil sampel masyarakat Kudus yang berjumlah 4 orang, yang tinggal di sekitar Mesjid Sunan Kudus.
D. Metode Pengumpulan Data
Kami menggunakan metode dalam mengumpulkan data yaitu dengan metode wawancara dimana kami melakukan tanya jawab kepada narasumber yang dilakukan secara sistematis dan berlandaskan kepada tujuan penelitian.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Wawancara
Subjek mengaku bahwa bulan Suro memiliki keistimewaan diantara bulan-bulan lain. Masyarakat Kudus pada bulan Suro menggelar berbagai macam acara.
Acara dimulai dari tanggal 1 Suro yaitu pengajian bersama. Puncak acaranya pada 10 Suro yaitu buka luwur. Masyarakat Kudus tidak mengetahui secara jelas sejak kapan perayaan 1 Suro mulai dilaksanakan.
Masyarakat Kudus hanya mengikuti tradisi nenek moyangnya. Bukan hanya masyarakat kudus yang ikut berpartisipasi dalam semua acara. Masyarakat asli Kudus tidak membedakan peziarah dari luar kota Kudus. Tidak ada perlakuan istimewa bagi peziarah dari luar kota Kudus saat perayaan malam 1 Suro.
B. Pembahasan
1. Pengertian Konformitas
David & Frank (2003) menyatakan bahwa konformitas merupakan perubahan
perilaku sebagai akibat dari pengaruh kelompok.
Myers (2008) menjelaskan bahwa konformitas merupakan suatu bentuk
perubahan perilaku atau kepercayaan hasil dari tekanan kelompok.
Menurut Asch (1951) konformitas merupakan perubahan tingkah laku atau
keyakinan sebagai hasil dari tekanan dalam kelompok yang terasa nyata ataupun
dalam bayangan.
Dari penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa konformitas adalah
perubahan perilaku sebagai akibat dari adanya tekanan dari kelompok.
2.
Penjelasan Malam Satu Suro
Secara kronologis, sebenarnya proses upacara
Buka Luwur tersebut diawali dengan penyucian pusaka yang berupa keris yang
diyakini milik Sunan Kudus yang dilaksanakan jauh sebelum tanggal
10 Syuro, yaitu pada akhir Besar (nama bulan sebelum bulan Syura).
Biasanya air bekas untuk mencuci keris tersebut
yang dalam bahasa Jawa disebut dengan “kolo”, diperebutkan masyarakat yang memiliki keris untuk mencuci
kerisnya, karena mengharap “berkah” dari Sunan Kudus.
Kemudian pada tanggal 1 Syura dilakukan
pencopotan kelambu atau kain putih penutup makam yang sudah satu tahun
digunakan. Kelambu atau kain putih itulah yang disebut dengan Luwur.
Kelambu atau kain putih bekas penutup makam tersebut menjadi rebutan masyarakat
karena untuk mendapatkan “berkah”.
Pada malam tanggal
9 Muharram atau Syuro diadakan pembacaan Barjanji
(berjanjen) yang merupakan ekspresi
kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Tanggal 9 Muharram setelah shalat
subuh diadakah khataman (pembacaan Al Quran dari awal sampai akhir).
Sementara khataman berlangsung dibuatlah “bubur
suro” yaitu makanan yang berupa bubur yang diberi bumbu yang berasal dari
berbagai macam rempah-rempah.
Hal ini dimaksudkan sebagai “tafa’ul” kepada Nabi Nuh setelah
habisnya air dari banjir yang melanda kaumnya, sedangkan makanan tersebut
diyakini dapat menjadi obat berbagai macam penyakit.
Di samping pembuatan “bubur suro” pada saat
khataman Al Quran berlangsung, juga diadakan penyembelihan hewan yang yang
biasanya berupa kambing dan kerbau, menurut salah seorang yang pernah menjadi
panitia dalam acara tersebut kambing yang disembelih bisa mencapai 80 hingga
100 kambing.
Kemudian pada malam harinya, yaitu malam
tanggal 10 Muharram diadakan pengajian umum yang isinya mengenai perjuangan dan
kepribadian Sunan Kudus yang diharapkan menjadi teladan oleh masyarakat.
Pada pagi hari tanggal 10 Muharram setelah
shalat Subuh dimulailah acara penggantian kelambu atau kain putih yang diawali
dengan pembacaan ayat suci Al Quran dan tahlil yang hanya khusus diikuti oleh
para Kyai, lalu mulailah pemasangan kelambu.
Bersamaan dengan itu diadakan pembagian makanan
yang berupa nasi dan daging yang sudah di masak kepada masyarakat, yang
dibungkus dengan daun jati. Masyarakat bersusah payah untuk mendapatkan nasi
dan daging tersebut, sebab makanan tersebut dianggap memiliki berkah dan banyak
mengandung kahsiat menyembuhkan penyakit.
Walaupun hanya mendapatkan sedikit, nasi
tersebut biasa disebut dengan “sego mbah
sunan” (nasinya Sunan Kudus). Setelah acara penggantian kelambu dan
pembagian nasi tersebut, berakhir sudah upacara Buka Luwur.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konformitas
Menurut Latana (1981) ada kecenderungan semakin
banyak anggota kelompok, semakin mendorong seseorang untuk melakukan
konformitas. Pada kenyataannya hubungan antara jumlah orang dalam kelompok
dengan tingkat konformitas tidak selamanya linier.
Menurut Penelitian Ash (1951), bahwa sampai
dengan 4 orang di dalam kelompok, pendapat di atas memang benar. Tetapi bila
lebih dari 4 orang tidak lagi menunjukkan pengaruh yang significant.
Faktor mayoritas dalam kelompok, ternyata
mempangaruhi konformitas (misal ; dalam etnis, agama, kebangsaan, geografis,
dll) akan lebih besar pengaruhnya untuk terjadi konformitas. Demikian juga pada
orang yang memiliki “self esteem”
tinggi, biasanya tidak mudah konform.
a.
Kurangnya Informasi
Orang lain merupakan sumber informasi yang penting.
Seringkali mereka mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui, dengan melakukan
apa yang mereka lakukan, kita akan memeperoleh manfaat dari pengetahuan mereka.
Kaitannya dengan hasil yang kami peroleh,
masyarakat Kudus kurang mengetahui sejarah dari perayaan yang dilakukan pada
malam satu Suro, mereka hanya mengikuti tradisi nenek moyang mereka, dan karena
orang-orang disekitar mereka melakukan hal tersebut, sehingga mereka ikut turut
serta juga.
b.
Kepercayaan terhadap kelompok
Dalam situasi konformitas, individu mempunyai
suatu pandangan dan kemudian menyadari bahwa kelompoknya menganut pandangan
yang bertentangan. Individu ingin memberikan informasi yang tepat.
Oleh karena itu, semakin besar kepercayaan
individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar, semakin besar
pula kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok.
c.
Kepercayaan diri yang lemah
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi rasa
percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan orang tersebut
pada kemampuannya sendiri untuk menampilkan suatu reaksi. Semakin lemah
kepercayaan seseorang akan penilaiannya sendiri, semakin tinggi tingkat
konformitasnya. Sebaliknya, jika dia merasa yakin akan kemampuannya sendiri
akan penilaian terhadap sesuatu hal, semakin turun tingkat konformitasnya.
d.
Rasa takut terhadap celaan sosial
Celaan sosial memberikan efek yang signifikan
terhadap sikap individu karena pada dasarnya setiap manusia cenderung
mengusahakan pesetujuan dan menghindari celaan kelompok dalam setiap tindakannya.
Tetapi, sejumlah faktor akan menentukan bagaimana pengaruh persetujuan dan
celaan terhadap tingkat konformitas individu.
e.
Rasa takut terhadap penyimpangan
Rasa takut dipandang sebagai orang yang
menyimpang merupakan faktor dasar hampir dalam semua situasi sosial. Kita tidak
mau dilihat sebagai orang yang lain dari yang lain, kita tidak ingin tampak
seperti orang lain. Kita ingin agar kelompok tempat kita berada menyukai kita,
memperlakukan kita dengan baik dan bersedia menerima kita.
Konformitas juga dipengaruhi oleh eratnya
hubungan antara individu dengan kelompoknya. Kekompakan yang tinggi menimbulkan
konformitas yang semakin tinggi.
g.
Kesepakatan kelompok
Orang yang dihadapkan pada keputusan kelompok
yang sudah bulat akan mendapat tekanan yang kuat untuk menyesuaikan
pendapatnya. Namun, bila kelompok tidak bersatu akan tampak adanya penurunan
tingkat konformitas.
BAB V
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan diatas kami menyimpulkan bahwa masyarakat
Kudus tidak mengetahui secara jelas sejak kapan perayaan 1 Suro mulai
dilaksanakan. Masyarakat Kudus hanya
mengikuti tradisi nenek moyangnya saja.
Fenomena tersebut bisa dijelaskan dengan teori konformitas yang
mengatakan bahwa perubahan perilaku seseorang sebagai akibat dari adanya tekanan
dari kelompok.
Konformitas terjadi karena dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang
diantaranya menurut Latana (1981) ada kecenderungan
semakin banyak anggota kelompok, semakin mendorong seseorang untuk melakukan
konformitas. Pada kenyataannya hubungan antara jumlah orang dalam kelompok
dengan tingkat konformitas tidak selamanya linier.
Faktor mayoritas dalam kelompok, ternyata mempangaruhi konformitas (misal
; dalam etnis, agama, kebangsaan, geografis, dll) akan lebih besar pengaruhnya
untuk terjadi konformitas. Demikian juga pada orang yang memiliki “self esteem”
tinggi, biasanya tidak mudah konform.
DAFTAR PUSTAKA